Merangin, Minggu,20 /04/2025
Sedikitnya tujuh ratus warga dari enam dusun di Desa Limbur Merangin, Kabupaten Merangin, Jambi, terdiri dari laki-laki dan perempuan, secara bersama-sama melakukan panen tandan buah segar (TBS) di lahan yang mereka klaim sebagai hutan ulayat atau hutan adat desa. Lahan tersebut sebelumnya pernah digarap oleh PT. Buana, namun kemudian ditinggalkan begitu saja tanpa kejelasan status,kini lahan tersebut dikuasai oleh masyarakat setempat. Hal ini menjadi puncak dari penantian panjang warga sejak lahan ditanami pada tahun 2007-2008
Kebun payo ujo dan payo glanggang kisaran 160 hektar 40 hektar yang d perjual belikan oknum yang tidak bertanggung jawab
Seorang tokoh masyarakat yang enggan disebutkan namanya menyampaikan bahwa proses menunggu kepastian hukum atas lahan tersebut telah berlangsung lama, bahkan melewati tiga kali pergantian kepala desa.
“Kami sudah menunggu cukup lama sejak penanaman tahun 2007–2008 karena statusnya belum jelas. Baru saat Pj. Kades yang sekarang, kami sepakat mengambil sikap untuk menguasai secara fisik lahan itu ” ujarnya.
Lebih lanjut, sumber tersebut menyebutkan bahwa dari total luas lahan sekitar 200 hektare, sekitar 40 hektare di antaranya telah diperjualbelikan secara ilegal oleh oknum yang tidak bertanggung jawab.
Merasa kesabaran mereka telah habis, warga akhirnya secara spontan mendatangi lokasi lahan,tanpa ada paksaan dari pihak manapun langsung memasang tanda batas berupa patok dan cat, serta memanen TBS. Hasil dari panen ini kemudian disimpan dan dicatat sebagai Pendapatan Asli Desa (PAD) yang dikelola secara transparan oleh masyarakat dan pemerintah desa.
Pj. Kepala Desa Limbur Merangin, Sargawi, membenarkan adanya aksi panen massal tersebut.
“Saya sudah lama menahan warga agar tidak memanen hasilnya, karena masih ada persoalan yang sedang diurus di Pemerintahan Kabupaten Merangin terkait tapal batas dengan Desa Papit. Namun karena sebagian lahan sudah berpindah tangan ke pihak luar yang diduga melalui transaksi ilegal, maka masyarakat hari ini bersama-sama memanen hasil lahan eks perusahaan tersebut,” kata Sargawi.
Tinjauan Hukum dan Aturan bpn
Tindakan warga Desa Limbur Merangin dapat dikaji dari perspektif hukum agraria, khususnya:
Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria (UUPA)
Pasal 3 menyatakan bahwa "pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa, sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa."
Artinya, masyarakat hukum adat dapat mengelola dan memanfaatkan tanah adat selama masih diakui keberadaannya dan digunakan untuk kepentingan bersama.
Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/BPN No. 18 Tahun 2019 tentang Tata Cara Penetapan Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat
Menyediakan dasar hukum bagi masyarakat adat untuk memperoleh pengakuan dan penetapan atas tanah ulayat mereka melalui verifikasi administratif dan pengukuran partisipatif oleh BPN.
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2024 Tentang Desa Memberikan kewenangan kepada desa untuk mengelola sumber daya yang berada di wilayahnya sebagai bentuk otonomi desa, termasuk dalam hal pemanfaatan lahan untuk PAD, selama tidak bertentangan dengan hukum nasional.
Aksi panen massal oleh warga Desa Limbur Merangin merupakan bentuk ekspresi dari hak atas tanah adat yang belum mendapatkan kepastian hukum secara menyeluruh. Langkah masyarakat untuk menjadikan hasil panen sebagai sumber PAD patut diapresiasi jika dikelola secara transparan dan berlandaskan hukum. Namun, konflik kepemilikan dan peralihan hak atas sebagian lahan menuntut penyelesaian yang tegas dari pemerintah kabupaten dan BPN agar ke depan tidak menimbulkan konflik horizontal ataupun kerugian negara.
Jurnalis : ROLEX

