-->

Iklan

Menelisik Kontroversi Keaslian Dokumen Sang Mantan Presiden: Ijazah, Pedang Etika, dan Cermin Kesadaran Hukum

Thursday, May 29, 2025, May 29, 2025 WIB Last Updated 2025-05-29T06:41:28Z


Kontroversi tentang keaslian ijazah Mantan Presiden Joko Widodo adalah potret suram betapa publik di negeri ini masih terombang-ambing antara rasa percaya dan kecurigaan, antara fakta dan persepsi. Di tengah gelinjang demokrasi yang semakin terbuka, kontroversi ini menjadi paradoks sekaligus menjadi pengingat pedar bahwa kredibilitas pemimpin tidak berhenti ditelisik bahkan setelah ia turun dari tungku jabatannya.

Walaupun telah ada klarifikasi resmi dari pihak Universitas Gadjah Mada dan lembaga negara, riuh-rendah keraguan tak juga padam namun terus memanas. Pertanyaannya kini bukan lagi: "Apakah ijazah itu asli?" melainkan: "Mengapa rakyat masih meragukannya? “Mengapa isu ini bisa menyeruak dan apa artinya bagi etika bernegara serta tata hukum kita? Isu ini seakan mengoyak dua sisi tajam dari kehidupan berbangsa: etika dan kesadaran hukum.

Etika bukan tentang sekadar soal benar dan salah; etika adalah tentang bagaimana kita bersikap terhadap kebenaran tersebut. Dalam konteks ini, publik perlu menimbang: apakah menyebarkan keraguan tanpa dasar merupakan tindakan etis? Terlebih jika tuduhan tersebut ditujukan kepada sosok yang secara konstitusional telah dua kali terpilih memimpin negeri ini.

Martha Nussbaum, seorang filsuf moral kontemporer pernah menyatakan bahwa “integritas etis bukan hanya soal tindakan pribadi, tetapi juga tanggung jawab kolektif masyarakat dalam menjaga kewarasan cara pandang publik”.

Ketika masyarakat lebih senang bergumul dalam teori konspirasi ketimbang fakta hukum dan dokumen resmi, maka yang  dihadapi bukan hanya soal krisis kepercayaan, tetapi juga menggerus etika rakyat sebagai warga negara sipil. Ironisnya, banyak dari masyarakat menyerukan transparansi dengan cara yang tidak jujur,  menggugat dengan asumsi, bukan bukti. Padahal, etika publik menuntut  untuk curiga secara cerdas, bukan sinis tanpa dasar. Di titik inilah lemahnya hukum yang bekerja berdasarkan bukti bahwa ia tak selalu bisa membungkam narasi emosional.

Di sudut lain, kesadaran hukum masyarakat Indonesia masih kerap bersifat sporadis dan emosional. Undang- Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik menjamin hak rakyat atas informasi. Tetapi hak itu sebaiknya dijalankan dengan akal sehat dan kejelasan prosedur hukum, bukan melalui trial by social media.

Gugatan hukum terkait ijazah Pak Jokowi bahkan telah masuk ke ranah litigasi, dan hasilnya adalah Mahkamah Agung menolak gugatan tersebut karena tidak berdasar secara hukum. Tetapi yang terjadi selanjutnya bukan penerimaan atas putusan, melainkan kecurigaan baru terhadap lembaga peradilan. Hal tersebut mencerminkan adanya krisis kepercayaan yang mendalam, tidak pada satu orang, tetapi pada keseluruhan sistem. Ketika etika profesi, dalam kasus ini seorang pemimpin negara, diragukan hanya karena selembar kertas bernama ijazah, sesungguhnya yang dipertanyakan bukan hanya orangnya, tapi sistem sosial yang melahirkannya.

Ijazah adalah simbol dari sebuah pencapaian akademik. Tetapi seorang presiden, terutama dalam konteks demokrasi modern, tidak hanya dinilai dari ijazah, melainkan dari hasil kerja, rekam jejak, dan dampaknya terhadap rakyat. Maka, apakah keaslian ijazah menjadi isu substansial atau sekadar simbolik?

Mirisnya, dalam kultur politik negeri ini yang masih sarat polarisasi, simbol menjadi alat yang sangat ampuh untuk membakar emosi massa. Tuduhan ijazah palsu lebih banyak digunakan sebagai senjata politik ketimbang sebagai panggilan untuk reformasi integritas pendidikan. Jika niatnya adalah menjunjung tinggi kebenaran, maka harusnya energi masyarakat juga diarahkan untuk menuntut audit ijazah semua pejabat publik, bukan hanya yang dianggap “lawan politik”. Di sinilah kita menyaksikan bahwa kesadaran hukum masyarakat masih rapuh: hukum diterima jika sejalan dengan keinginan, ditolak jika tidak mendukung prasangka.

Kontroversi ini menjadi pelajaran penting bagi masyarakat sebagai bangsa: bahwa keteladanan pemimpin seharusnya tak hanya dinilai dari legalitas administratif semata, tetapi juga dari konsistensi moral. Rakyat yang cerdas seharusnya tidak mudah terjebak dalam isu yang tidak berbasis fakta kuat. Kegaduhan tentang keaslian ijazah Pak Jokowi harus dibaca sebagai cermin dari kurangnya literasi hukum dan etika di masyarakat. Kita lupa bahwa kehormatan bukanlah hasil dari ijazah, tetapi dari karya, integritas, dan akuntabilitas.

Apakah ijazah Pak Jokowi asli? Secara hukum: ya. Secara etika? Tergantung pada niat publik membaca persoalan ini. Jika kita ingin membangun bangsa dengan nilai-nilai kejujuran, mari dimulai dari memperkuat integritas sistem pendidikan, membuka data publik, dan menciptakan ruang diskusi yang sehat, bukan membiarkan prasangka hidup lebih lama dari kenyataan. Sebab pada akhirnya, bangsa yang besar bukan hanya yang memiliki pemimpin berijazah, tetapi yang mampu menjadikan etika dan kebenaran sebagai fondasi utama dalam kehidupan bernegara.

*drg E Susanty Tahir, MH / Dosen di Universitas Duta Bangsa Surakarta/ Stafsus Bidang Kedokteran Wawasan Hukum Nusantara/ Legium Law Master Asean University International Malaysia.
Komentar

Tampilkan

  • Menelisik Kontroversi Keaslian Dokumen Sang Mantan Presiden: Ijazah, Pedang Etika, dan Cermin Kesadaran Hukum
  • 0

Terkini