Breaking News

Pengamat Hukum Maritim: Negara Harus Tegas, Kasus ABK Sekarat di Chile Cermin Gagalnya Perlindungan



Jakarta, Kasus tragis menimpa seorang Anak Buah Kapal (ABK) asal Indonesia bernama Fadli yang dilaporkan dalam kondisi sekarat di Chile saat bekerja di kapal ikan FV. Huai 28 berbendera Tiongkok. Peristiwa ini mengundang perhatian publik, terutama setelah Ketua Wawasan Hukum Nusantara (WHN) yaitu Capt. Arqam Bakri, S.E.,M.Mar.,MBA. secara resmi melayangkan surat aduan kepada Presiden Prabowo Subianto.

Dalam suratnya, WHN menyoroti sejumlah pelanggaran serius terhadap hak-hak dasar pelaut. Fadli diketahui hanya menerima gaji sebesar USD 330 per bulan, jauh di bawah standar minimum yang ditetapkan oleh International Transport Workers' Federation (ITF), yakni sekitar USD 641 per bulan. Selain itu, agen pelayaran PT. AMI justru meminta keluarga korban menandatangani surat pernyataan yang membebankan biaya pemulangan kepada mereka.
Pengamat hukum maritim dari Wawasan Hukum Nusantara (WHN), Dr ( c ) Capt. Christmas Datumbanua S.E.,S.H.,M.H.,M.Mar. mengecam keras peristiwa tersebut. Dalam wawancara eksklusif, ia menegaskan bahwa perlakuan terhadap Fadli mencerminkan kegagalan sistemik dalam perlindungan hukum pelaut Indonesia.
“Negara bendera seperti Tiongkok memiliki kewajiban berdasarkan Pasal 94 ayat (3) dan (7) UNCLOS 1982 untuk menjamin keselamatan dan kesehatan awak kapalnya. Tapi saat negara bendera lalai, negara asal dalam hal ini Indonesia harus tampil membela,” ujarnya.

Datumbanua juga menegaskan bahwa perlakuan terhadap Fadli jelas melanggar Maritime Labour Convention (MLC) 2006 yang telah diratifikasi Indonesia melalui UU No. 15 Tahun 2016. Ia merinci sejumlah regulasi penting yang diabaikan:
Regulasi 4.1  mengharuskan pelaut mendapat akses cepat terhadap layanan medis, kapan pun dan di mana pun dibutuhkan.
Regulasi 2.5 menjamin hak pelaut atas repatriasi tanpa biaya jika sakit atau cedera.
Regulasi 1.4  mewajibkan agen penempatan seperti PT. AMI untuk memberikan perlindungan dan tidak membebankan tanggung jawab kepada keluarga pelaut.
“Meminta keluarga korban menanggung biaya pemulangan dan pengobatan jelas melanggar regulasi MLC 2006. Ini bukan hanya persoalan kemanusiaan, tapi juga persoalan hukum internasional dan nasional,” ujar Datumbanua.

Ia juga menyoroti lemahnya peran perwakilan Indonesia di luar negeri. Berdasarkan UU No. 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia, negara memiliki tanggung jawab penuh melindungi warganya yang bekerja di luar negeri.
 
“Pasal 4 menegaskan bahwa negara wajib hadir sejak sebelum bekerja, saat bekerja, hingga setelah pulang. Pasal 80 dan 85 bahkan menyebutkan kewajiban pemerintah dan perwakilan RI di luar negeri untuk memberi pendampingan dan bantuan hukum,” jelasnya.
Mirisnya, dalam percakapan dengan kuasa hukum keluarga, diplomat KBRI Chile justru menyebut bahwa Fadli “tidak membutuhkan bantuan hukum”, melainkan bantuan dana. Hal ini menurut Datumbanua mencerminkan sikap yang tidak profesional dan tidak berorientasi pada perlindungan hukum.
“Kalau negara tidak membela pelautnya, lalu siapa lagi? Kita tidak bisa berharap pada negara asing untuk lindungi warga kita. Inilah fungsi diplomasi yang sejati,” Kita tidak bisa berharap pada negara asing untuk lindungi warga kita. Inilah fungsi diplomasi yang sejati,”  Ia menambahkan bahwa kasus seperti ini seharusnya menjadi momentum penting untuk memperkuat sinkronisasi antarinstansi pemerintah, khususnya Direktorat Jenderal Perhubungan Laut (Hubla) di Kementerian Perhubungan, Kementerian Luar Negeri, dan Direktorat Jenderal Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja dan Perluasan Kesempatan Kerja di Kementerian Ketenagakerjaan.

“Penanganan kasus pelaut tidak bisa dilakukan secara sektoral atau terpisah. Harus ada koordinasi terpadu, karena pelaut itu bukan hanya objek pengawasan transportasi laut, tetapi juga pekerja migran dan subjek perlindungan diplomatik. Dirjen Hubla harus memastikan standar keselamatan dan perlindungan di kapal, Kemlu bertanggung jawab melindungi WNI di luar negeri secara aktif dan responsif, sementara Kemenaker wajib mengawasi penempatan tenaga kerja dan menindak tegas agen nakal,” ujarnya.
Kasus ini diharapkan menjadi momentum penting bagi pemerintah Indonesia untuk menertibkan agen-agen penempatan ABK nakal serta mengevaluasi kinerja para diplomat dalam melindungi WNI di luar negeri. WHN sendiri menyatakan akan terus mengawal kasus ini hingga Fadli mendapatkan hak-haknya dan proses hukum dijalankan terhadap pihak yang lalai.

Kuat atau lemahnya negara terlihat dari seberapa sungguh-sungguh ia membela rakyatnya di luar negeri.  tutup Datumbanua.

0 Comments

© Copyright 2022 - PORTAL BUANA NEW