Breaking News

Problematika Tambang Nikel di Kawasan Wisata Raja Ampat



Laksda TNI (Purn) Dr. Surya Wiranto, S.H.,M.H. (Dewan Pengawa WHN).


Jakarta, 7 Juni 2025, Pembangunan tambang nikel di kawasan wisata Raja Ampat akan menghadapi “banyak masalah hukum serius” karena benturan dengan berbagai lapisan perlindungan hukum yang ada. Berikut masalah hukum utamanya:
 
1. Pelanggaran terhadap Kawasan Konservasi
  - Status Taman Nasional: Sebagian Raja Ampat masuk dalam “Taman Nasional Teluk Cenderawasih” yang dilindungi UU No. 5/1990 tentang Konservasi SDA Hayati dan Ekosistemnya. Aktivitas tambang dilarang keras di zona inti taman nasional.
  - “Cagar Biosfer UNESC”: Raja Ampat ditetapkan UNESCO sebagai Cagar Biosfer (2019). Meski tidak mengikat hukum nasional, status ini memberi tekanan internasional untuk menjaga kelestarian.
 
2. Pelanggaran Peraturan Zonasi Wilayah
  - “RTRW Provinsi Papua Barat”: Perda RTRW mengalokasikan kawasan untuk pariwisata dan konservasi. Tambang akan bertentangan dengan rencana tata ruang yang disahkan pemerintah daerah.
  - “Perlindungan Ekosistem Kritis”: Kawasan karst dan terumbu karang Raja Ampat dilindungi PP No. 26/2008 tentang RTRWN. Penambangan dapat merusak ekosistem yang masuk "kawasan lindung geologi".
 
3. Sengketa Masyarakat Adat
  - “Hak Ulayat”: Masyarakat adat Raja Ampat memiliki hak ulayat yang diakui UU No. 21/2001 (Otsus Papua). Tambang tanpa FPIC (Free, Prior and Informed Consent) melanggar hak konstitusional (Putusan MK No. 35/PUU-X/2012).
  - “Potensi Konflik Sosial”: Penolakan masyarakat dapat berujung pada gugatan hukum berdasarkan UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
 
4. Pelanggaran Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL)
  - “Kompleksitas AMDAL”: Proyek tambang wajib menyertakan AMDAL komprehensif (PP No. 22/2021). Namun, kerusakan permanen pada terumbu karang dan biodiversitas sulit dimitigasi, berpotensi ditolak KLHK.
  - “Risko Pencemaran Laut”: Limbah tambang (sedimen, logam berat) dapat mencemari perairan, melanggar UU No. 32/2009 dan PP No. 22/2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan Lingkungan Hidup.
 
5. Benturan dengan Sektor Pariwisata
  - “Izin Usaha Pariwisata”: Aktivitas tambang akan mengganggu usaha pariwisata berizin, berpotensi menimbulkan gugatan ganti rugi berdasarkan UU Pariwisata No. 10/2009.
  - “Dampak Ekonomi”: Kerusakan daya tarik wisata dapat dianggap sebagai "kerugian negara" dalam perspektif hukum keuangan negara.
 
6. Pelanggaran Hukum Internasional
  - “Konvensi Keanekaragaman Hayati (CBD)”: Indonesia sebagai penandatangan wajib menjaga biodiversity hotspot seperti Raja Ampat.
  - “Ramsar Convention”: Kawasan lahan basah Raja Ampat masuk daftar Ramsar (situs penting ekosistem wetland).
 
 
Potensi Sanksi Hukum:
•⁠  ⁠Pidana: Sanksi penjara bagi pelaku perusakan lingkungan (Pasal 60 UU No. 32/2009).
•⁠  ⁠Administratif: Pencabutan izin tambang, denda, hingga pembatalan izin usaha oleh KLHK/pemda.
•⁠  ⁠Perdata: Gugatan ganti rugi oleh masyarakat/LSM (actio popularis, Pasal 91 UU No. 32/2009).
 
Kesimpulan
Proyek tambang nikel di Raja Ampat “sangat kecil kemungkinan secara hukum” karena:
•⁠  ⁠Kawasan didominasi status konservasi dan lindung,
•⁠  ⁠Risiko kerusakan irreversibel pada ekosistem unik,
•⁠  ⁠Potensi konflik multidimensi (hukum, sosial, politik).
 
Solusi alternatif: Pengembangan ekonomi berbasis ekowisata berkelanjutan lebih sesuai dengan status hukum dan ekologi Raja Ampat. Jika ada wacana pertambangan, masyarakat/LSM dapat menggunakan instrumen hukum di atas untuk mengajukan judicial review, gugatan lingkungan, atau tekanan melalui mekanisme perlindungan HAM.(Red)

0 Comments

© Copyright 2022 - PORTAL BUANA NEW