Breaking News

Menggali Hikmah Ilmu Laduni Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dan Ketawadhuan Sayyidina Ali



Dalam dunia Islam, ilmu bukan hanya sekadar kumpulan teori dan bacaan. Ia adalah cahaya yang membimbing langkah manusia menuju kebenaran. Sebuah pepatah Arab mengingatkan kita, "Ilmu yang tidak diamalkan ibarat pohon yang tidak berbuah." Artinya, ilmu sejati adalah ilmu yang hidup dalam perbuatan dan diamalkan demi kemaslahatan.

Al-Qur’an pun mengabadikan janji Allah dalam Surat Al-Baqarah ayat 282:

"wattaqullâh, wa yu‘allimukumullâh, wallâhu bikulli syai'in ‘alîm"

"Dan bertakwalah kepada Allah, maka Allah akan memberikan pengajaran kepada kalian, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu."

Ayat ini menjadi isyarat bahwa siapa yang menjaga takwa, Allah akan membukakan baginya Ilmu Laduni — ilmu yang tidak tertulis di atas kertas, melainkan ditanam langsung di dalam hati para kekasih-Nya, para wali dan orang-orang shalih.

Salah satu sosok agung yang dikenal mewarisi ilmu ini adalah Sulthanul Auliya, Syekh Abdul Qadir al-Jailani. Dalam perjalanannya menyebarkan dakwah, ada kisah yang jarang diketahui banyak orang — kisah yang tercatat dalam kitab-kitab karya para ulama Hadlramaut, Tarim, Yaman, negeri yang dikenal sebagai Baldatun Auliya, tanah para wali.

Suatu hari, sebelum melaksanakan salat Dzuhur, Syekh Abdul Qadir al-Jailani mendapat kunjungan dari Rasulullah ï·º dalam keadaan sadar, bukan dalam mimpi. Seketika beliau terkejut dan tidak melanjutkan salat. Rasulullah bertanya, “Wahai anakku, mengapa kamu takut berbicara di hadapan orang banyak?”

Syekh Abdul Qadir menjawab dengan rendah hati, mengakui bahwa dirinya berasal dari lingkungan yang tidak pandai berbicara, sehingga merasa gentar berdakwah di hadapan penduduk Baghdad yang cerdas dan alim.

Mendengar itu, Rasulullah memerintahkan Syekh Abdul Qadir membuka mulutnya, lalu meludahinya sebanyak tujuh kali seraya berpesan:

“Sekarang, pergilah dan bicaralah di hadapan manusia. Berdakwah dan ajak mereka ke jalan Allah.”

Namun ujian belum selesai. Saat hendak berbicara di hadapan penduduk Baghdad, tubuh Syekh Abdul Qadir kembali gemetar. Dalam keadaan itulah, Sayyidina Ali bin Abi Thalib datang menghampirinya. Dengan penuh kasih sayang, Sayyidina Ali mengulangi perintah Rasulullah: membuka mulut Syekh Abdul Qadir dan meludahinya sebanyak enam kali.

Syekh Abdul Qadir, penasaran, bertanya, “Mengapa engkau hanya meludahi mulutku enam kali, sedangkan Rasulullah tujuh kali?”

Sayyidina Ali menjawab bijak, “Ini adalah adab kepada Rasulullah, agar aku tidak melebihi darinya.”

Di situlah letak pelajaran mendalam: ketawadhuan dan adab Sayyidina Ali. Sekalipun memiliki kedudukan tinggi, beliau tetap menjaga tata krama dalam hal sekecil apapun.

Setelah kejadian itu, berkat limpahan berkah Rasulullah dan Sayyidina Ali, Syekh Abdul Qadir al-Jailani pun bangkit dengan percaya diri. Beliau mulai berbicara di hadapan penduduk Baghdad, menyampaikan ilmu dan nasihat, tanpa lagi merasa gentar. Dari situlah dakwah beliau menyebar luas, menginspirasi umat hingga hari ini.

Kisah ini mengajarkan kita dua hal yang tak terpisahkan:

Pertama, pentingnya ilmu yang diamalkan, bukan sekadar dihafal.

Kedua, dahulukan adab sebelum ilmu. Setinggi apapun ilmu seseorang, jika tanpa adab, maka ilmu itu kehilangan maknanya.

Sebagaimana Syekh Abdul Qadir al-Jailani yang diangkat derajatnya sebagai ‘Raja dari Seluruh Para Wali’, bukan hanya karena ilmunya, tetapi juga karena adab dan ketawadhuannya.

Semoga kisah ini menjadi cermin bagi kita semua dalam meniti jalan ilmu dan kehidupan sehari-hari: berilmu, beradab, dan bertawadhu. ( suconet)


0 Comments

© Copyright 2022 - PORTAL BUANA NEW