Oleh: Prof. Dr. Mukhtar Latif, M.Pd.
(Guru Besar UIN Sutha Jambi)
Dari Kongres ke Konten Digital
Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 menjadi simbol persatuan dan tekad pemuda melahirkan Indonesia merdeka. Saat itu, generasi gentis—generasi perintis—hanya 7% dari penduduk Hindia Belanda. Walau kecil jumlahnya, mereka besar dalam cita dan gagasan. Di bawah tekanan kolonialisme, para pemuda berani menembus batas etnis dan daerah demi satu identitas: Indonesia.
Kini, tongkat perjuangan itu dipegang oleh Generasi Z. Mereka lahir antara 1997–2012 dan jumlahnya mencapai 75,5 juta jiwa atau 27,9% dari total penduduk Indonesia (BPS, 2023). Gen Z hidup di era serba digital, cepat berpikir, kreatif, dan berani berekspresi. Namun, tantangan mereka berbeda: bukan penjajahan fisik, melainkan krisis identitas dan derasnya arus globalisasi.
Jika generasi gentis menumpahkan darah untuk kemerdekaan, Gen Z ditantang menumpahkan gagasan demi keberlanjutan bangsa.
Semangat yang Bertransformasi
Menurut teori Social Movement dari Charles Tilly (2004), gerakan sosial lahir dari kesadaran kolektif. Pada 1928, kesadaran itu tumbuh lewat pertemuan berbagai organisasi pemuda seperti Jong Java dan Jong Sumatera. Mereka sadar bahwa “kita bukan anak daerah, tetapi bangsa Indonesia.”
Kini, semangat itu hidup di ruang digital. Gerakan seperti #SaveKPK dan kampanye sosial lainnya menunjukkan bahwa nilai Sumpah Pemuda masih relevan—hanya saja tampil dalam bentuk baru: aktivisme digital.
Namun, survei LIPI (2023) mencatat 48% pemuda menilai nasionalisme bukan lagi prioritas utama. Banyak yang lebih fokus pada ekonomi dan gaya hidup. Padahal, di era global, nasionalisme tak boleh hilang; justru harus beradaptasi di ruang digital dengan menebarkan narasi kebangsaan dan solidaritas lintas budaya.
Dari Perlawanan Fisik ke Inovasi Digital
Data BPS (2024) menunjukkan lebih dari 56% pelaku usaha digital baru di Indonesia berusia di bawah 30 tahun. Ini bukti bahwa semangat perintis masih hidup, hanya berubah bentuk: dari perjuangan fisik menjadi inovasi kreatif.
Namun, riset Santoso (2022) mengungkap bahwa 62% remaja Indonesia lebih merasa “warga dunia” ketimbang warga negara. Fenomena ini menunjukkan pentingnya revitalisasi nilai Sumpah Pemuda melalui pendidikan karakter digital dan literasi sejarah.
Sumpah Pemuda 4.0
Bagi generasi gentis, Sumpah Pemuda adalah panggilan untuk melawan penjajahan. Bagi Gen Z, ini adalah panggilan untuk melawan apatisme dan kehilangan makna.
Ketika dunia tanpa batas dan teknologi kian maju, Sumpah Pemuda tetap menjadi jangkar moral bangsa. Kini, ia tidak lagi lahir dari ruang kongres, tetapi dari ruang digital—dari ide, kreativitas, dan inovasi yang menjaga keberagaman Indonesia di dunia maya.
Sumber : Diskominfo Provinsi Jambi
Reporter : RL/RK