-->

Iklan

Cabut Izin atau Moratorium Penebangan Hutan

Sunday, December 07, 2025, December 07, 2025 WIB Last Updated 2025-12-07T06:03:36Z
CABUT IZIN ATAU MORATORIUM PENEBANGAN HUTAN!

Oleh : Agung Marsudi
Founder Duri Institute


"Jangan tanyakan apa yang sudah diberikan hutan padamu, tapi tanyakan apa yang sudah kamu berikan pada hutan"*

KENAPA penjara gak membuat para koruptor jera? Jawabnya sederhana, "koruptor gak takut dosa, tapi takut miskin". Rumus operasi dasar matematiknya kali dan tambah, bukan pengurangan dan pembagian.

Banyak kasus korupsi mencuat, ketika "bagi-baginya" tidak adil. Tidak sesuai kesepakatan. Asimetris. Kemaruk. Kurang jatah. Jatah preman. Dalam retorika politik, ini yang dimaksud, "Penguasa yang memaksakan kehendaknya"

Kilafah partai politik, membahayakan kehidupan demokrasi. Dalam konteks Indonesia, kapitalisme politik melahirkan otoriter gaya baru. Gaya orde baru lewat. Orde lama, orde baru, orde reformasi, orde blusukan, "semua orderan".

Jokowism, misalnya adalah otoriter berwajah blusukan, bermental puja puji, jilat menjilat gaya relawan. Ruang dialektika publik dipenuhi caci maki, dan benci. Sehingga "Ujaran Kebencian" menjadi ladang luas permainan hukum. Hukum rimba, yang kuat, yang menang. Pasal pencemaran nama baik, menjadi alat jitu politik saling menyandera. Yang dekat dengan penguasa, yang bertenaga ekstra. Intelektualitas mati. Digiring ke gorong-gorong.

Bagaimana tidak, seorang petinggi, seorang menteri tidak tahu definisi apa itu "pohon". Apalagi menteri kehutanan. Tanyakan ke fakultas kehutanan UGM. Apa yang dimaksud dengan pohon? (Bukan soal berdaun). Tinjau ulang THPB, teori manajemen hutan, "Tebang Habis Permudaan Buatan".

Refleksi bencana banjir Sumatra: "Tuhan, Hantu, Hutan".
_Tuhan disalahkan karena “hujan terlalu deras”._  
_Hantu disalahkan karena “warga kurang sembahyang”._  
_Hutan disalahkan karena “akarnya tidak cukup menyerap air”._

Padahal yang sebenarnya datang bukan hujan, tapi hantu. Hantu atas nama investasi, berjas rapi, berdasi. Hantu yang bisa berbaju Menteri, Gubernur, Bupati, Direktur, atau Komisaris. Hantu yang punya kantor di Jakarta, rumah dan rekeningnya di Singapura.

Hantu itu tidak takut salib, tidak takut air suci, tidak takut azan, apalagi ayat kursi, karena mereka yang menduduki kursi itu. Hantu tidak takut Tuhan.

Hantu itu muncul di hutan malam-malam, membacakan mantra sakti bernama UU Cipta Kerja, Perpres 109/2020, Permen LHK yang direvisi berkali-kali, lalu menebas pohon dengan gergaji bermerek “kepentingan nasional”. Setelah hutan gundul, tanahnya licin, hantu itu tertawa: “Sekarang kalau banjir, kita tinggal bilang: ini bencana alam, kehendak Tuhan.”

Di tengah bencana, "truk-truk balak" masih berani mengangkut kayu gelondongan besar-besar. Untuk menyisir siapa pelaku dan penyebab, "Hentikan kegiatan pembalakan". Setidaknya moratorium. Cek  ke hulu, bekas-bekas tempat penimbunan kayu mereka, dan areal tebangan mereka.

Tuhan, hantu, hutan. Bencana banjir Sumatra, hutan jelas tak bersalah. Tuhan apalagi. Tinggal hantu yang bisa disalahkan. Hantu yang kentut, ada suara, ada bau, tapi tak ada yang mengaku.

Masih ingat drama panas: "Zulhas, Sang Pemanggul Beras". Cukup sudah menjadi bangsa kuli. Apalagi Kuli Pemanggul Oligarki. Cukup sudah menjadi Rajuli, sekelas menteri. Menjadi "Raja" di medsos, tapi mental jongos.

Kan gak enak, disindir, nanti kementerian kehutanan, diubah menjadi kementerian kehantuan. Sebagai menteri, "Jangan tanyakan apa yang sudah diberikan hutan padamu, tapi tanyakan apa yang sudah kamu berikan pada hutan".

Atas nama bencana: Cabut ijin, hentikan semua kegiatan penebangan hutan atau moratorium. _"Right now or not all!"_


*Duri, 7 Desember 2025*
Komentar

Tampilkan

  • Cabut Izin atau Moratorium Penebangan Hutan
  • 0

Terkini